Kebijakan Kontroversial BPDPKS Memicu Gelombang Protes Industri
Sektor perkebunan kelapa sawit Indonesia tengah menghadapi permasalahan kompleks terkait penetapan tarif ekspor yang dinilai tidak adil. Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) mendapat sorotan tajam setelah menerapkan pungutan tambahan terhadap Palm Oil Mill Effluent (POME) yang dianggap melanggar koridor hukum yang berlaku.
Polemik ini bermula ketika sejumlah perusahaan eksportir mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, menentang keputusan BPDPKS yang secara drastis menaikkan beban pungutan ekspor dari USD 5 menjadi USD 25 per metrik ton untuk POME yang mengandung Asam Lemak Bebas (ALB) melebihi ambang batas 20 persen.
Asal Mula Konflik: Penafsiran Regulasi yang Bermasalah
Benih perselisihan tertanam dalam keputusan BPDPKS untuk mengklasifikasikan ulang POME dengan kandungan ALB tinggi ke dalam kategori “residu padat lainnya”, sehingga mengakibatkan pengenaan tarif yang berlipat ganda. Tindakan ini didasarkan pada anggapan bahwa produk dengan karakteristik tersebut telah kehilangan identitasnya sebagai POME asli.
Ditinjau dari sudut pandang hukum administrasi dan regulasi fiskal, kebijakan ini memunculkan keraguan besar mengenai kepatuhan terhadap prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik serta jaminan kepastian hukum bagi komunitas bisnis.
Dr. Wiston Manihuruk, SH, MH, konsultan dan pengacara perpajakan, menggarisbawahi bahwa permasalahan ini mengindikasikan pelanggaran terhadap sejumlah asas penting dalam hukum administrasi. “BPDPKS telah melakukan penafsiran sepihak terhadap kategorisasi komoditas ekspor tanpa merujuk pada standar internasional yang telah diakui,” jelasnya.
Ketidaksesuaian dengan Standar Global
Penelaahan menyeluruh mengungkapkan bahwa pengertian “solid” atau “padat” dalam ranah klasifikasi barang ekspor telah ditetapkan secara teknis melalui Catatan Penjelasan Sistem Harmonisasi (HS) yang diterbitkan oleh Organisasi Bea Cukai Dunia (WCO). Dokumen normatif ini mengklarifikasi bahwa “residu padat” merujuk pada bahan yang mempertahankan bentuk padat pada suhu ruang dan tidak dapat dituangkan.
POME, meskipun memiliki tingkat kekentalan yang tinggi, secara hakiki tetap merupakan limbah cair dari proses pengolahan kelapa sawit yang mempertahankan sifat dapat dituangkan pada suhu kamar. Sifat fisik mendasar ini tidak mengalami perubahan meskipun konsentrasi ALB-nya mengalami peningkatan.
“Penafsiran BPDPKS yang semata-mata mengandalkan indikator kimia tanpa mempertimbangkan aspek karakteristik fisik produk secara tegas bertentangan dengan standar HS yang telah diadopsi Indonesia melalui undang-undang kepabeanan,” tegasnya dengan tegas.
Pelanggaran terhadap Prinsip Hukum Waktu
Aspek waktu dalam penerapan regulasi menjadi isu mendasar yang tidak dapat diabaikan. Pada rentang waktu Juli-September 2024, saat mayoritas kegiatan ekspor POME yang menjadi objek sengketa dilaksanakan, kerangka regulasi yang berlaku adalah PMK 154/PMK.05/2022 yang secara eksklusif mengakui dua pembagian: POME (USD 5/MT) dan residu padat lainnya (USD 25/MT), tanpa menyebutkan parameter batasan kandungan ALB.
Peraturan Menteri Perindustrian 32/2024 yang memperjelas klasifikasi berdasarkan kandungan ALB baru diatur dalam tarif pungutan ekspor pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 62 Tahun 2024, yang baru terbit setelah periode ekspor, namun BPDPKS menerapkannya dengan berlaku mundur. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap prinsip dasar hukum administrasi yang secara tegas melarang penerapan peraturan dengan daya berlaku surut.
Praktisi hukum yang menangani beberapa kasus serupa menegaskan bahwa penerapan mundur ini menimbulkan ketidakpastian dalam iklim berbisnis. “Para eksportir yang melaksanakan kegiatan ekspor berdasarkan peraturan yang sah pada masa itu, tiba-tiba dikenakan struktur tarif yang berbeda berdasarkan aturan yang belum ada. Ini merupakan wujud ketidakadilan yang nyata.”
Dampak terhadap Iklim Investasi
Praktik pemungutan yang bermasalah ini tidak hanya mengakibatkan kerugian keuangan langsung bagi eksportir, tetapi juga mengikis kepercayaan investor terhadap konsistensi kerangka kebijakan pemerintah. Industri kelapa sawit, yang berfungsi sebagai salah satu penyumbang devisa utama Indonesia, memerlukan kestabilan regulasi untuk mempertahankan daya saing di arena global.
Ketidakpastian seperti ini menciptakan kesulitan dalam perencanaan bisnis strategis. Investor potensial akan menggunakan pendekatan yang lebih hati-hati dalam mempertimbangkan investasi di sektor yang mengalami ketidakstabilan regulasi dan berpotensi mengalami penerapan mundur.
Data menunjukkan bahwa konflik ini telah menghasilkan kerugian keuangan yang besar bagi komunitas eksportir, dengan akumulasi kelebihan pembayaran yang terbayarkan mencapai jumlah miliaran rupiah dalam periode waktu yang relatif singkat.
Urgensi Perubahan Tata Kelola
Kalangan ahli hukum dan praktisi industri menganjurkan urgensi reformasi mendasar dalam tata kelola pungutan ekspor komoditas perkebunan. Sistem yang berlaku saat ini dinilai rentan terhadap penafsiran subjektif dan tidak menyediakan perlindungan yang memadai bagi hak-hak dasar pelaku usaha.
“Dibutuhkan mekanisme yang lebih transparan dan dapat dipertanggungjawabkan dalam penentuan klasifikasi dan struktur tarif pungutan,” ujar peneliti kebijakan publik dari institusi akademik terkemuka. “Konsultasi publik dan penilaian dampak yang menyeluruh harus menjadi prasyarat sebelum perubahan kebijakan diterapkan.”
Rancangan Perbaikan Sistem
Untuk mencegah terulangnya masalah yang serupa, beberapa langkah perbaikan memerlukan pelaksanaan segera:
Langkah Pertama: Pembentukan tim teknis independen yang menggabungkan keahlian kimia, teknologi pangan, dan hukum perdagangan internasional untuk menyusun klasifikasi yang akurat dan sesuai dengan standar global. Tim ini harus beroperasi dengan transparansi tinggi dan melibatkan pemangku kepentingan industri.
Langkah Kedua: Pengembangan mekanisme konsultasi publik yang wajib dilakukan sebelum perubahan klasifikasi atau tarif mendapat pengesahan. Hal ini penting untuk memastikan bahwa kebijakan yang diadopsi tidak menimbulkan dampak merugikan bagi pelaku usaha dan sejalan dengan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik.
Langkah Ketiga sistem pemantauan internal dalam BPDPKS untuk memverifikasi bahwa setiap keputusan pemungutan didasarkan pada peraturan yang sah dan berlaku. Audit berkala oleh pihak independen juga diperlukan untuk menjamin akuntabilitas.
Proyeksi Jangka Panjang dan Solusi Alternatif
Apabila dibiarkan berkepanjangan, sengketa ini berpotensi menciptakan contoh buruk bagi tata kelola perpajakan di sektor komoditas lainnya. Penurunan kepercayaan pelaku usaha terhadap konsistensi kebijakan dapat berdampak pada pengurangan investasi dan penurunan daya saing ekspor Indonesia.
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengadili sengketa tata usaha negara, diharapkan dapat menghasilkan putusan yang tidak semata-mata menyelesaikan kasus individual, tetapi juga menyediakan pedoman yang jelas bagi praktik tata kelola masa depan.
Kasus-kasus seperti ini merupakan ujian terhadap komitmen pemerintah dalam menjunjung tinggi supremasi hukum dan perlindungan hak-hak dasar warga negara dalam kegiatan ekonomi.
Penutup: Harmonisasi Kepentingan Berbagai Pihak
Meskipun pemerintah memiliki kewenangan untuk memungut retribusi guna memfasilitasi pembangunan sektor perkebunan, pelaksanaannya harus tetap menghormati prinsip-prinsip hukum dan keadilan. Keseimbangan antara kepentingan fiskal negara dan perlindungan hak pelaku usaha menjadi kunci keberlanjutan jangka panjang.
Kasus POME melawan BPDPKS ini menjadi momentum penting untuk refleksi dan perbaikan sistem tata kelola pungutan ekspor di Indonesia. Hanya melalui pendekatan yang transparan, dapat dipertanggungjawabkan, dan berbasis kerangka hukum yang kuat, industri kelapa sawit Indonesia dapat melanjutkan kontribusi optimal bagi ekonomi nasional sambil menjaga kepercayaan investor dan mitra dagang internasional.
Kepastian hukum bukan semata-mata hak, tetapi juga fondasi bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Analisis ini disusun berdasarkan evaluasi mendalam terhadap kerangka peraturan terkait dan praktik tata kelola pungutan ekspor komoditas perkebunan di Indonesia. Perspektif yang disampaikan bertujuan memberikan sudut pandang yang seimbang bagi seluruh pemangku kepentingan yang berkepentingan.

